POTENSI PATI RESISTEN SEBAGAI SUMBER PREBIOTIK
Oleh: R. Haryo Bimo Setiarto, S.Si, M.Si
Laboratorium Mikrobiologi Pangan, Bidang Mikrobiologi

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan perubahan trend konsumsi pangan. Hal ini membuat konsumen tidak hanya menilai bahan pangan dari segi sensorik dan keamanan saja tetapi juga mempertimbangkan dampak pangan bagi kesehatan. Pangan fungsional adalah pangan yang bersifat aman, bernutrisi dan memiliki efek positif bagi kesehatan. Salah satu pangan fungsional yang sangat potensial untuk dikembangkan adalah prebiotik. Prebiotik adalah ingridien pangan fungsional yang tidak diserap dalam usus halus dan bermanfaat bagi manusia karena dapat menstimulasi secara selektif pertumbuhan bakteri probiotik dalam kolon sehingga bermanfaat bagi saluran pencernaan manusia.
Description: D:\Foto Jamur\hi-maze-resistant-starch-honeyville-9.jpg  Description: D:\Foto Jamur\flours.jpg
Produk prebiotik yang digunakan sebagai ingridien, suplemen, dan makanan di pasar global mencapai angka penjualan sebesar 14,9 milyar USD pada tahun 2011 dan 16 milyar USD tahun 2012, serta diestimasikan mencapai 19,6 milyar USD pada tahun 2014. Produk prebiotik yang paling banyak dikomersialisasikan adalah FOS, GOS, rafinosa dan inulin yang mewakili 71,9 % penjualan prebiotik di tahun 2013 (Granato et al. 2013). Prebiotik pada produk pangan sebagian besar diaplikasikan pada produk susu formula untuk menstimulasi pertumbuhan bakteri probiotik. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tingkat keinginan konsumen terhadap variasi jenis produk prebiotik meningkat secara signifikan sejak 5 lima tahun terakhir (Granato et al. 2013). Hal ini mendorong industri pangan untuk melakukan inovasi dan mengembangkan jenis produk prebiotik baru.
Description: D:\Foto Jamur\hi-maze-resistant-starch-honeyville-3new.jpg
Salah satu komponen prebiotik selain oligosakarida yang sangat potensial untuk dikembangkan adalah pati resisten (resistant starch/ RS). Pati resisten (RS) merupakan pati yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan dan tahan terhadap asam lambung sehingga dapat mencapai usus besar untuk difermentasi oleh bakteri probiotik menjadi asam lemak rantai pendek (Sajilata et al. 2006 dan Zaragoza et al. 2010). RS memiliki kelebihan sebagai prebiotik jika dibandingkan dengan FOS dan inulin yaitu mampu mengikat dan mempertahankan kadar air dalam feses, sehingga tidak menyebabkan sembelit dan flatulensi jika dikonsumsi dalam jumlah besar (Ozturk et al. 2011 dan Vatanasuchart et al. 2012). Selain itu, RS digolongkan sebagai sumber serat tidak larut dan mampu menurunkan kolesterol dan indeks glikemik (Okoniewska dan Witwer 2007), mencegah terjadinya kanker kolon melalui pembentukan asam lemak rantai pendek (Vanhoute 2006), mereduksi pembentukan batu empedu dan membantu penyerapan mineral (Lesmes et al. 2009). FAO (2007) telah merekomendasikan konsumsi RS sebanyak 15-20 gram setiap hari untuk memperoleh manfaat bagi kesehatan.
Pati resisten (RS) diklasifikasikan dalam lima kelompok berdasarkan pada asal dan cara proses pembuatannya, yaitu tipe RS1, RS2, RS3, RS4, RS 5 (Sajilata et al. 2006, Zaragoza et al. 2010, Birt et al. 2013). Pati resisten tipe I (RS1) merupakan pati yang terdapat secara alamiah dan secara fisik terperangkap dalam sel-sel tanaman dan matriks dalam bahan pangan kaya pati, terutama dari biji-bijian dan sereal. Jumlah RS1 dipengaruhi oleh proses pengolahan dan dapat dikurangi atau dihilangkan dengan penggilingan. Pati resisten tipe II (RS2) merupakan pati yang secara alami sangat resisten terhadap pencernaan oleh enzim α-amilase dan umumnya granulanya berbentuk kristalin. Sumber RS2 antara lain pisang dan kentang yang masih mentah, serta jenis pati jagung dengan kadar amilosa yang tinggi. Pati resisten tipe III (RS3) adalah pati teretrogradasi yang diproses dengan pemanasan otoklaf (1210C) dan dilanjutkan dengan pendinginan pada suhu rendah (40C) sehingga mengalami retrogradasi. Retrogradasi pati terjadi melalui penyusunan kembali rantai linear (amilosa) setelah proses pemanasan otoklaf. RS3 dapat diperoleh dalam gel pati, tepung, adonan, produk yang dipanggang, dan amilosa rantai pendek hasil fragmentasi yang mengalami retrogradasi. Pati resisten tipe IV (RS4) adalah pati termodifikasi secara kimia seperti pati ester maupun pati ikatan silang (Sajilata et al. 2006 dan Zaragoza et al. 2010).

Pati resisten tipe V (RS5) terbentuk ketika pati berinteraksi dengan lipid, sehingga amilosa membentuk kompleks heliks tunggal dengan asam lemak dan lemak alkohol. Rantai linear pati dalam struktur heliks akan membentuk kompleks dengan asam lemak dalam rongga heliks, sehingga pati akan saling mengikat dan sulit dihidrolisis oleh enzim amilase. Karena pembentukan kompleks amilosa-lipid adalah reaksi instan dan kompleks dapat terbentuk setelah proses pemasakan, maka RS5 dianggap stabil terhadap pemanasan (Birt et al. 2013). Dari semua jenis RS, RS3 adalah yang paling menarik perhatian karena RS tipe ini dapat mempertahankan karakteristik organoleptik ketika ditambahkan pada makanan (Lehmann et al 2002). RS tipe ini relatif tahan panas dibandingkan RS tipe lainnya sehingga RS3 stabil selama proses pengolahan pangan (Zaragoza et al 2010). RS3 merupakan jenis RS yang paling banyak digunakan sebagai bahan baku fungsional berbasis RS. Kandungan RS3 dalam bahan pangan alami umumnya rendah, oleh karena itu perlu ditingkatkan kadarnya melalui teknik modifikasi.

Komentar